Sigajang laleng lipa atau yang lazim dikenal sebagai Istilah Saling tikam dalam sarung
Ritual ini biasanya dilakukan sebagai langkah menyelesaikan masalah antara dua orang yang bertikai, baik masalah pertikaian,soal bagi hasil,permasalahan keluarga,hingga pernikahan. ritual saling tikam dengan badik itu dilakukan didalam sarung sebagai batas arena pertarungan.
Karenanya, tradisi yang disebut Sigajang Laleng Lipa ini jadi sangat menarik. Sigajang Laleng Lipa sendiri memiliki arti mendalam bagi masyarakat Bugis. Ia adalah opsi terakhir mempertahankan harga diri (siri’) karena masalah yang sudah dimusyawarahkan mengalami jalan buntu.
ketika sigajang laleng lipa sudah diucapkan oleh kedua pihak, maka tidak ada kata mundur, bagi siapapun yang memiliki darah bugis di dirinya, pantang untuk menarik ucapannya, karena ucapan adalah presentasi dari jati diri seseorang.
Apalagi, masyarakat bugis mengenal tiga filosofi terkait ucapan. Pertama, “sadda mappabati ada” yang berarti bunyi yang mewujudkan kata maupun ucapan. Kedua, “mappabati gau” yang memiliki arti ucapan menandakan kelakuan. Ketiga, “gau mappabati tau” yang tak lain dianggap sebagai kelakuan merepresentasikan manusia atau seseorang. Sehingga, ketika salah satu diantara mereka melanggar filosofi itu, maka sangat memungkinkan Sigajang Laleng Lipa terjadi.
Saking sakralnya tradisi ini, Fariz Alniezar dalam buku berjudul Homo Homini Humor (2019), mengungkap filosofi penggunaan sarung dalam tradisi, bahwa apa semua masalah yang telah “masuk ke dalam sarung” tak boleh lagi dipersoalkan di luar sarung. Segalanya berhenti di dalam sarung. Selain itu, sarung juga simbol dari persatuan.
“Masyarakat Bugis kuno mengenal tradisi Sigajang Laleng Lipa (duel satu sarung). Ketika ada pertikaian antara dua pihak, jika keduanya menemui jalan buntu untuk berdamai, jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah adalah dengan cara berduel,” tulis Alniezar.
“Duel itu dilakukan di dalam sebuah sarung dengan masing-masing membawa badik (senjata) terbaiknya. Biasanya duel ini menyangkut hal-hal yang paling krusial dalam hidup, seperti harga diri dan kehormatan,” ucapnya.
Dalam kaca mata budaya sendiri, si gajang laleng lipa seperti yg diungkapkan oleh budayawan asal Sulawesi Selatan Feby triadi dalam VOI mengungkapkan bahwa,secara sejarah tradisi, si gajang laleng lipa sungguh sulit dideteksi awal mulanya. Namun, tradisi ini adalah tradisi yang tak dilakukan sembarang orang, karena Sigajang Laleng Lipa disinyalir produk dari bangsawan pada zaman dahulu.
Buktinya, dalam sepanjang prosesi Siganjang Laleng Lipa biasanya melibatkan bissu –pendeta agama Bugis kuno. “… biasa mereka menggunakan jasa para bissu untuk melindungi salah satu dari mereka yang bertikai, bissu juga sengaja dipanggil untuk mengamankan situasi,” ditulis Alniezar.
Hal itu dilakukan karena seringkali mereka yang bertikai gelap mata. Bissulah yang dipercaya dapat menjadi penenang atau pelerai jika mereka yang tengah bertikai sudah gelap mata. Bahkan, bissu juga berperan membekali mereka yang berangkat ke medan laga dengan doa yang dikenal dengan istilah “Mappanre Lise”.
meski begitu, si gajang laleng lipa sendiri tak bisa dilangsungkan, tiap bertikai kemudian memilih untuk melakukan sigajang laleng lipa, tidak begitu cara main sigajang laleng lipa, untuk menuju ke sigajang laleng lipa sendiri pun ada tiga cara penyelesaian masalah yg harus ditempuh, biasanya itu disebut “TELLU CAPPA”
“Pertama, ‘Cappa Lila’ (ujung lidah). Cara pertama ini ditempuh untuk menyelesaikan masalah dengan perundingan, negosiasi atau musyawarah. Kedua, ‘Cappa Laso’ (ujung penis/kemaluan) setelah melalukan penyelesaiaan masalah dengan menempuh ujung yang pertama gagal, maka ditempuh cara menggunakan opsi kedua. Karena bagi masyarakat Bugis, anak perempuan yang masih perawan adalah permata yang sangat mahal harganya,” ujar Feby Triadi
SC:https://voi.id/memori/4640/i-sigajang-laleng-lipa-i-budaya-saling-tikam-di-dalam-sarung-untuk-selesaikan-masalah