Budidaya dengan teknik hidroponik bukanlah hal baru di Indonesia. Umumnya, hidroponik digunakan untuk membudidayakan jenis tanaman sayur dan buah. Lalu bagaimana, jika teknik hidroponik ini juga diterapkan untuk tanaman padi? Apakah bisa?
Adalah seorang Basiri, seorang petani dari Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang yang telah berhasil mengembangkan budi daya padi dengan teknik hidroganik (hidroponik-organik).

Metode ini juga sering disebut sebagai aquaponik, yang menggabungkan antara sistem hidroponik dengan kolam budi daya ikan di bawahnya. Air yang berasal dari kolam ikan akan dialirkan melalui pipa-pipa tempat tanaman tumbuh, air kolam yang mengandung kotoran ikan akan menjadi sumber nutrisi tambahan bagi tanaman.
Instalasi yang digunakan pun cukup sederhana, hanya menggunakan paralon ukuran 4 inchi yang dilubangi dengan diameter 8 cm untuk tempat gelas plastik yang memiliki tinggi 12,5 cm. Gelas plastik tersebut diberi lubang di bawahnya sebanyak 12 titik, dan diberi kain flanel. Jarak antar lubang tanam sekitar 25 cm.

Awalnya, Basiri mencoba menanam padi sebanyak 30 titik tanam. Hasilnya, padi tidak dapat tumbuh dengan sempurna. Pada tahun berikutnya, dia mencoba menanam kembali dengan cara yang sedikit berbeda. Hasilnya, tanaman padi dapat tumbuh dengan subur, akan tetapi malainya tidak bisa keluar.
Beberapa kali mencoba dan beberapa kali mengalami kegagalan, Basiri tidak lantas menyerah. Bertahun-tahun lamanya dia terus bereksperimen dengan mengotak-atik volume dan komposisi pupuk. Hingga akhirnya dia berhasil memanen tanaman padinya dengan hasil yang optimal.

Basiri menggunakan varietas padi IR 64 untuk budi daya dengan teknik hidroganik ini. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan varietas padi yang lainnya. Padi ini dapat dipanen pada kisaran 80-90 hari, sama halnya dengan budi daya padi konvensional. Dalam setiap trida padi, anakannya bisa mencapai rata-rata 10-12 anakan dan setiap bulirnya menghasilkan sekitar 150-200 butir padi dengan bulir padi yang lebih bernas.
Sementara itu, kendala yang dihadapi dalam budi daya ini adalah adanya serangan hama burung, ulat dan serangga. Untuk mengantisipasi hama burung, Basiri memasang jaring ketika padinya sudah mulai tumbuh malai. Untuk ulat dan serangga, dia mengunakan refugia (tanaman penghalang) atau dikendalikan dengan cara manual.

Dengan sistem ini, masa panen dalam setahun bisa sampai empat kali dan tidak perlu ada masa jeda untuk kembali menanam seperti bercocok tanam padi di areal persawahan. Inovasi hidrogonik ini bisa menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin bercocok tanam dengan cara yang lebih bersih atau yang mempunyai lahan sempit.